Selamat Datang di Website Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Karanganyar | Anggun Dalam Moral Unggul Dalam Intelektual | Religiusitas, Intelektualitas, dan Humanitas IMM Tonggak Penghapusan Kelas

IMM Tonggak Penghapusan Kelas




Gagasan, Narasi, dan Aksi
Pergolakan mahasiswa telah lama bangkit sejak masa perbudakan, masa kebebasan, dan masa revolusi. Tentu tinta perjuangan mahasiswa setiap masa akan selalu berubah sesuai dinamika perpolitikan dan gerakan kaum proletariat. Semenjak era perbudakan, mahasiswa sudah membranding diri sebagai katalis peradaban melalui peniadaan kasta sosial berlabel "kemerdekaan" akibat ide perbudakan kaum borjuisme Hindia Belanda. Seiring perputaran dimensi waktu, gerakan mahasiswa cenderung stagnan dan semakin kehilangan ruh pergerakannya. Semangat juangnya pun mulai tergadai oleh tawaran elit partai politik dan tak jarang bias demonstrasi pun kentara sebab idealismenya telah terjual sesuai pesanan elit. Tepat kiranya apabila polemik negara ini tak akan pernah usai akibat ulah mahasiswa yang cenderung merendahkan posisinya sebagai agen penyeimbang, pengontrol, dan perubahan.

Lantas, bagaimana kiprah ikatan ini? Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah lahir sebagai akibat pergolakan bangsa akan bahaya laten komunis dan memburuknya kondisi sosial, ekonomi, dan politik bangsa. Sebab latar belakang tersebut, kiranya pantas menempatkan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai eksponen (stabilisator dan dinamisator) mahasiswa dalam perlawanannya terhadap pendegradasian idealisme. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai salah satu elemen mahasiswa yang berkhidmat dalam ranah religiusitas, intelektualitas, dan humanitas harus berani menginisiasi lahirnya peradaban baru melalui cawan intelektualitasnya.

Apabila menilik sejarah, keberanian pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Djazman Al Kindi saat itu mampu mengguncang dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara melalui gagasannya mendirikan ikatan ini, bahkan Djazman tak segan melawan kelompok yang merintangi lahirnya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, termasuk orang tuanya sendiri (Muhammadiyah). Naif kiranya ketika seorang kader menolak mengaktualisasikan keberanian gagasan Djazman Al Kindi melahirkan konsepsi pembebasan terhadap belenggu kebodohan. Oleh karena itu, sudah saatnya kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah memunculkan dan menuangkan gagasan dalam sebuah narasi intelektualitas yang lantas dieksekusi melalui revolusi peradaban berkemajuan. Akan tetapi, lahirnya suatu peradaban tak akan pernah lepas dari sebuah gerakan pembebasan dan gerakan berawal dari sebuah konsepsi nalar kritis terhadap keadaan sosial sekitar.

Berangkat dari konsepsi tersebut, seorang kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus mampu menangkap sinyal pergolakan dan kegelisahan rakyat sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap amanah rakyat. Selain itu, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tak boleh terjebak dalam isu agama semata, tetapi harus mulai melirik isu berbau humanitas dan intelektualitas guna merealisasikan cita-cita dakwah Muhammadiyah. Begitulah kiranya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang dicita-citakan oleh Djazman Al Kindi, sebagai gerakan kaum intelektual dalam tugasnya mengontrol kebijakan pemerintah dan menginisiasi munculnya peradaban baru melalui keeleganan gagasan, narasi, dan aksi.

Wacana Intelektual Penghapusan Kelas
Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan, tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu mencengkeram, begitulah tutur Goenawan Mohamad dalam buku Tan Malaka, Bapak Revolusi yang Dilupakan. Apabila ditelisik lebih dalam, perkataan Goenawan mengenai wacana sebagai bangunan perumusan dapat diartikan bahwa wacana bukan sekadar awan panas yang terbakar lantas hilang tak berbekas, tetapi wacana merupakan serangkaian gagasan sebagai salah satu bentuk narasi fundamental yang kemudian dieksekusi melalui kekhidmatan aksi. Lebih jauh lagi, wacana harus mampu mengilhami setiap insan dalam merealisasikan cita-cita besar negara ini, yaitu pencerdasan manusia. Oleh karena itu, naif bila wacana hanya dianggap sebagai imajinasi kosong tanpa rumusan aksi di dalamnya.

Mahasiswa sebagai perwujudan insan berintelektualitas atas idealismenya sudah semestinya mulai merangkak bahkan berlari menyusuri arus pergolakan bangsa dan menceburkan dirinya bersamaan wacana intelektualitasnya. Bukan tak mungkin, terjunnya mahasiswa mampu mendeskripsikan anatomi dan dinamika proses maupun produk wacana intelektual yang diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap munculnya peradaban baru sebuah bangsa. Dalam hal ini, kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tak boleh hanya berpangku tangan menantikan gerakan mahasiswa lainnya, sebuah penghinaan bila seorang kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tertunduk lesu dan terkesan bungkam melihat realitas kehidupan bangsanya. Sebagai salah satu elemen mahasiswa yang menjunjung tinggi nilai religiusitas dan humanitas dengan keintelektualannya, maka kiranya seorang kader wajib mengedepankan konsolidasi wacana intelektualitas dalam menyebarkan konseptualisasi nilai-nilai berbangsa dan bernegara sebagai satu upaya mewujudkan rekonsiliasi bangsa.

Namun, wacana intelektualitas hanya akan terwujud manakala seorang kader mampu menggeluti dimensi ilmu pengetahuan, salah satunya melalui kegiatan membaca. Jikalau kita memaknai membaca sebagai alat perlawanan, maka dapat kita artikan bahwa membaca adalah bentuk pembebasan dan perlawanan dari kebodohan, fanatisme, cacat nalar, dan indoktrinasi sesat. Selain itu, membaca juga dapat diartikan sebagai titik refleksi roh perjuangan akan puncak kemerdekaan, di mana tatanan sosial masyarakat akan mengalami revolusi mendalam sebab bebasnya nalar dari belenggu kecacatan. Psikologi kelas dan perilaku sosial manusia pun bermetafora dari sistem perbudakan primitif menuju kemerdekaan intelektual. Saat periode perbudakan primitif, manusia cenderung anti manusiawi, menonjolkan kelas sosial, menumbuhkan perbudakan dan pertuanan. Sistem ini ibarat sebuah sangkar, jika manusia mampu menembus sangkar tersebut maka dia akan terbebas bagai sekawanan burung kelana yang melintas di atas gurun tandus lalu menukik di tepian samudra. Sistem perbudakan sejatinya mendegradasi bahkan memenjarakan nalar intelektual dan memicu nafsu monopoli manusia. Sistem ini hanya akan roboh apabila manusia memiliki kemauan dan tekad kuat memerdekakan nalar intelektualnya melalui bacaan.

Lantas, sudahkah kita membaca buku hari ini? Memang membaca tak harus terpaku pada rentetan diksi sebuah buku, namun tidak bisa kita pungkiri bahwa membaca sangat erat kaitannya dengan buku. Namun, membaca jangan hanya dimaknai sebagai pintu awal membuka cakrawala dunia sahaja tetapi bagaimana kebiasaan membaca mampu membentuk karakteristik perjuangan ideologi. Hal ini dapat dipahami bahwa kebiasaan membaca mampu mewarnai pembentukan karakter manusia dan pada satu titik mampu menyingkap tabir kehidupan melalui kebebasan nalar. Keberhasilan mengungkap misteri dan mendegradasi perbudakan mengisyaratkan munculnya nafas kebahagiaan. Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib, "Siapapun yang terhibur dengan buku-buku, kebahagiaan tak akan sirna darinya", hal ini merujuk pada kebiasaan membaca mampu menciptakan kebahagiaan tersendiri bagi sang pembaca, ibarat pasangan kekasih yang bertemu dalam sudut sepi di tengah taman kota. Puncaknya, kebahagiaan tersebut menjelma spirit pergerakan pembebasan dari penindasan sistem perbudakan. Oleh karena itu, mahasiswa Muhammadiyah sebagai salah satu komponen pembebasan semestinya terbiasa bersenggama dengan buku dalam menguatkan ideloginya dan mendorong penghapusan kelas sosial masayarakat.


***
Ditulis oleh : Rahmad Agung (Ketua bidang Tabligh)

Posting Komentar

0 Komentar