*Tulisan ini bersifat opini, dan sangat terbuka untuk dikoreksi
Bagi kita, para aktivis-aktivis muda Muhammadiyah yang sedang bergejolak baik semangat juga asmaranya. Barangkali pernah terbersit atau malah sudah terpatri menjadi tekad untuk menikah dengan sesama kader persyarikatan. Entah dalam satu ortom, atau malah ortom lain. Bukan tanpa alasan saya melontarkan kalimat di atas. Pasalnya saya, dan barangkali anda tahu betul, berjuang di persyarikatan tidaklah mudah. Korban waktu, tenaga, bahkan harta. Di tengah kepayahan diri setelah berjuang ditambah kondisi hati yang tuna asmara. Kita mulai berandai-andai betapa bahagianya punya kawan seperjuangan yang juga kawan hidup. Lalu melahirkan anak-anak yang secara otomatis menjadi kader, tanpa harus melewati fase pencarian organisasi mana yang paling tepat untuk berjuang.
Namun, realita tak selalu seperti yang diharapkan. Saya menulis opini ini, dimulai dari keresahan pribadi ketika membantu mencari anggota sebuah ortom di tataran grassroot. Amat sangat sedikit putra putri ayahanda Muhammadiyah atau ibunda Aisiyah yang mau terjun berjuang di organisasi otonom Muhammadiyah. (Tentu tidak semua seperti ini, saya mengenal dengan baik beberapa kawan yang berjuang dengan tekun di persyarikatan adalah putra putri dari aktivis Muhammadiyah pula). Sebenarnya apa yang salah dengan mereka? apakah didikan orang tua belum cukup untuk memastikan anak-anaknya berjuang di persyarikatan. Ataukah memang ada yang lebih menarik di luar sehingga anak enggan mengikuti jejak orang tuanya.
Omong kosong perkaderan biologis
Ninin Karlina[1] dalam tulisanya[2] membagi macam-macam kader Muhammadiyah menjadi enam. Salah satunya adalah kader biologis, yaitu orang yg lahir dari keluarga yg sudah menjadi Warga Muhammadiyah. secara ideologis aktivis belum tentu sesuai harapan orang tuanya. Secara sederhana kader diartikan sebagai orang terpilih, atau penggerak inti. Secara lebih luas Kader Muhammadiyah adalah tenaga inti penggerak persyarikatan yang memiliki totalitas jiwa, sikap, pemikiran, wawasan, kepribadian, dan keahlian sebagai pelaku atau subyek dakwah Muhammadiyah di segala lapangan kehidupan. Karena itu, kader Muhammadiyah harus senantiasa teruji dan terdidik dalam keseluruhan dimensi kemanusiaannya itu, sehingga mampu mengemban misi Muhammadiyah kini dan masa mendatang dalam berbagai tantangan zaman.[3]
Dari pengertian di atas kita dapat memahami bahwa untuk menghasilkan seorang kader Muhammadiyah tidaklah mudah dan instan. Penanaman ideologi, pembentukan karakter yang militan, dan melatih kompetensi perlu waktu dan upaya yang tidak sedikit. Kita bisa mulai berkaca pada diri kita, butuh waktu berapa lama sampai kita benar-benar yakin dan mau berjuang di persyarikatan. Ada serangkaian proses dan tahapan yang membentuk diri kita dari sekedar simpatisan menuju posisi kader. Hal ini yang perlu difahami sebelum memantapkan diri menikahi sesama kader dalam rangka melakukan perkaderan biologis.
Banyak dari kita mampu menggaet banyak orang di luar untuk masuk dan berjuang dalam persyarikatan. Mungkin melalui kegiatan perkaderan, atau kegiatan-kegiatan lain yang kita adakan. Namun akan beda cerita ketika berhadapan dengan seorang anak. Saya pribadi merasa yakin ber-Muhamamdiyah setelah bersinggungan dengan kelompok-kelompok lain yang menurut pandangan saya cara dakwahnya kurang pas. Dan, saya kira kawan-kawan punya alasan tersendiri untuk memilih ber-Muhammadiyah.
Permasalahanya adalah, orang tua yang berlatar
belakang Muhammadiyah hanya memberi akses dan dukungan untuk anaknya menjadi
kader Muhammadiyah. Entah dengan menyekolahkan anaknya ke sekolah Muhammadiyah,
atau menyuruh ikut aktif di organisasi otonom. (Bahkan banyak juga yang memilih
menyekolahkan atau mengikutkan anaknya di kelompok lain yang dianggap lebih
baik). Pada akhirnya yang mengkader mereka adalah guru, pembina, dan senior
mereka di organisasi. Bukan hal yang salah, namun kita tidak memberi
kesempatan untuk mereka berproses dulu memantapkan pilihan berjuang di
persyarikatan. Sekedar ber-sekolah di Muhammadiyah tak menjamin seorang anak
akan menjadi kader. Maka proses dialog menjadi sangat penting.
Memberikan satu paket pilihan tanpa
rasionalisasi yang jelas tentu berpotensi membuat anak memberontak di kemudian
hari. Pengalaman diri kita yang sudah mantap ber-Muhammadiyah, rasanya bisa
dijadikan bahan cerita dan dialog bagi anak. Alih-alih hanya menyuruhnya mengikuti
jejak kita. Anak perlu tahu hal apa yang akan terjadi bila mereka memilih
ber-Muhammadiyah dan tidak memilih ber-Muhammadiyah. Apa yang akan mereka dapat
dan apa yang akan mereka lewatkan. Apakah dampak bagi anak dan sekitar ketika
mereka aktif di persyarikatan atau tidak. Supaya di saat dewasa anak tak
kehilangan konsep tahapan peristiwa. Jangan sampai kita hanya menghujani anak
dengan capaian-capaian dari pengharapan kita, sedang mereka tak yakin betul apa
dampaknya ketika mereka mencapai hal-hal tersebut.
Anak juga mendengar dan melihat apa yang orang
tua lakukan dengan baik. Tentu orang tua harus mengambil peran, membiasakan dan
mencontohkan beribadah sesuai HPT ketika di rumah misalnya, memberi pengertian
secara terus menerus untuk mengamalkan agama Islam sebagai Rahmatan Lil
Alaamiin, suapaya anak berIslam secara toleran, tidak esklusif, tak mudah
menyalahkan, juga senantiasa bermanfaat bagi sekitar. Tentu hal ini perlu
dibiasakan dari diri kita sekarang, jauh sebelum kita memutuskan menikah dengan
sesama kader. Supaya perkaderan biologis tak hanya menjadi omong kosong,
menjadi alasan kita untuk mendekati seseorang, atau hanya kalimat utopis yang
tak mampu kita wujudkan.
Bagaimana keluarga Muhammadiyah seharusnya
Di akhir saya lampirkan sekilas tentang berkehidupan
berkeluarga Muhammadiyah dalam PHIWM (Panduan Hidup Islami Warga Muhammadiyah)
sebagai dasar dan pandangan kita semua.
1. Kedudukan Keluarga
1.1.Keluarga merupakan tiang utama kehidupan
umat dan bangsa sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai yang paling intensif dan
menentukan, karenanya menjadi kewajiban setiap anggota Muhammadiyah untuk
mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah[4]
yang dikenal dengan Keluarga Sakinah.
1.2.Keluarga-keluarga di lingkungan
Muhammadiyah dituntut untuk benar-benar dapat mewujudkan Keluarga Sakinah yang
terkait dengan pembentukan Gerakan Jama’ah dan da'wah Jama’ah menuju
terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
2. Fungsi Keluarga
2.1.Keluarga-keluarga di lingkungan
Muhammadiyah perlu difungsikan selain dalam mensosialisasikan nilai-nilai
ajaran Islam juga melaksanakan fungsi kaderisasi sehingga anak-anak tumbuh
menjadi generasi muslim Muhammadiyah yang dapat menjadi pelangsung dan
penyempuma gerakan da'wah di kemudian hari.
2.2.Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut
keteladanan (uswah hasanah) dalam mempraktikkan kehidupan yang Islami yakni
tertanamnya ihsan/kebaikan dan bergaul dengan ma’ruf[5],
saling menyayangi dan mengasihi[6],
menghormati hak hidup anak[7],
saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, memberikan pendidikan
akhlak yang mulia secara paripurna[8],
menjauhkan segenap anggota keluarga dari bencana siksa neraka[9],
membiasakan bermusyawarah dalam menyelasaikan urusan[10],
berbuat adil dan ihsan[11],
memelihara persamaan hak dan kewajiban, dan menyantuni anggota keluarga yang
tidak mampu[12].
3. Aktifitas Keluarga
3.1.Di tengah arus media elektronik dan media cetak yang
makin terbuka, keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah kian dituntut
perhatian dan kesungguhan dalam mendidik anak-anak dan menciptakan suasana yang
harmonis agar terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif dan terciptanya suasana
pendidikan keluarga yang positif sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam
3.2.Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut
keteladanannya untuk menunjukkan penghormatan dan perlakuan yang ihsan terhadap
anak-anak dan perempuan serta menjauhkan diri dari praktik-praktik kekerasan dan
menelantarkan kehidupan terhadap anggota keluarga.
3.3.Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah perlu
memiliki kepedulian sosial dan membangun hubungan sosial yang ihsan, ishlah,
dan ma'ruf dengan tetangga-tetangga sekitar maupun dalam kehidupan sosial yang
lebih luas di masyarakat sehingga tercipta qaryah thayyibah dalam masyarakat
setempat.
3.4.Pelaksanaan shalat dalam kehidupan keluarga harus
menjadi prioritas utama, dan kepala keluarga jika perlu memberikan sanksi yang
bersifat mendidik.
[1]Aktivis PDNA Sukoharjo
[2]https://sangpencerah.id/2014/12/6-tipe-kader-muhammadiyah-yang-perlu/
[3]M Darson Hamid, M. YusronAsrofiedkk, Kader PersyarikatandalamPersoalan, (Yogyakarta: SuaraMuhammadiyah, 2002), hlm. 41.
[4]
Q.S. Ar-Rum/30 : 21
[5]
Q.S. An-Nisa/4 : 19, 36, 128; Al-Isra/17 : 23, Luqman/31 : 14
[6]
Q.S. Ar-Rum/30 : 21
[7]Q.S. Al-An'am/6 : 151, Al-Isra/17 : 31
[8]Q.S.
Al-Ahzab/33 : 59
[9]Q.S.
At-Tahrim/66 : 6
[10]
Q.S. At-Talaq/65 : 6, Al-Baqarah/2 : 233
[11] Q.S. Al-Maidah/5 : 8, An-Nahl/16 : 90
[12] Q.S. Al-Isra/17 : 26, Ar-Rum/30 : 38
0 Komentar