Terkadang manusia menjudge orang lain tampa metode dialektis dan terkesan serampangan dalam mencatatkan nilai laku orang sekitar, misalnya menghukumi seseorang hanya bersumber dari "kata orang" atau berdasar analisis subyektif yang diurai dalam untaian opini pribadi. Oleh karena itu, kita sebagai salah seorang yang mengaku aktivis hendaknya mampu mengaktualisasikan diri dalam memandang serangkaian peristiwa secara obyektif. Namun, acap kali kita terlalu bersemangat menilai seseorang tampa melihat laku asli kesehariannya dan tampak gegabah dalam mengambil sebuah keputusan sehingga apa yang dilakukan justru memunculkan petaka di tengah keringnya kepercayaan.
Tak jarang aktivis dakwah pun melakukan penghukuman yang sama terhadap saudara seperjuangannya, bahkan terkadang jauh lebih ekstrem dan kejam, tidak percaya? Mari kita telisik lebih dalam, ketika salah seorang dari kita menepi atau meninggalkan kecacatan maka secepat kilat kita akan mengatakan "biasa, seleksi alam". Mungkin dalam benak kita kata-kata semacam itu biasa, tetapi justru anggapan biasa tersebut ibarat bom waktu yang setiap saat dapat meledak dan membumi hanguskan dakwah itu sendiri. Peristiwa seleksi alam memang benar adanya, namun siapa yang terseleksi masih bisa diperdebatkan, kita ataukah mereka? Saat dakwah mulai membesar, kita akan melihat barisan penepi. Mereka mulai pasif dan tenggelam dalam hiruk pikuk idealisme diri, jua mereka masih bertahan dalam sujud panjangnya tetapi menyingkir dari keriuhan dunia. Lalu, kita mulai dihantui kecemasan dan kegelisahan sebab kehilangan kawan seperjuangan.
Waktu demi waktu terlampaui, kita seakan lupa bahwa kawan seperjuangan telah tiada dalam barisan penakluk terjalnya kehidupan. Lantas kita melabeli mereka dengan sebutan "tak lolos seleksi alam" tampa sebuah dialektis yang tersistematis sebab angggapan bahwa mereka terseleksi oleh sang Pencipta. Apakah benar? Jangan-jangan bukan mereka yang terseleksi, tetapi kita yang telah salah jalan dengan mengira kedudukan dan jabatan adalah sebuah jalan kemenangan, sehingga mereka yang tinggalkan pergumulan adalah seorang pecundang. Apa kabar jikalau Tuhan menganggap kita yang telah salah jalan? Apakah kita tetap akan menghukumi mereka sang pecundang ataukah kita sendiri yang terlampau pecundang? Lantas, bagaimana jika Tuhan menganggap jalan kita hanya berkutat pada urusan dunia dan melupakan jalan terjal menuju kesucianNya? Bukankah kita akan terdiam atau bahkan tak segan teteskan air mata. Oleh karena itu, jangan sesekali melabeli manusia dari satu sudut pandang sahaja tetapi lihatlah diri kita sendiri terlebih dahulu, jangan-jangan kitalah yang salah jalan dan terkesan menolak kebenaran sebab benih kesombongan.
***
Ditulis oleh : Rahmad Agung (Ketua bidang Tabligh)
0 Komentar