Stigmatisasi
yang beredar dan lazim dikalangan perempuan dalam dimensi islam, mereka kerap
sekali terhakimi bahwa perempuan itu sebagai sumber fitnah, dalam
mendefinisikannya mereka menggunakan dalil yang berkenaan dengan dalil bahwa
perempuan adalah sumber fitnah, tetapi tak jarang historis atau sejarah
memaparkan bahwa tak selalu perempuan sebagai sumber fitnah ada sejarah atau
literatur dimana laki-laki bisa menjadi sumbu atau juga sumber fitnah,
dijelaskan zaman pada nabi yusuf dijelaskan yang tergila-gila bukanlah Yusufnya
tetapi betapa Yusuf dengan ketampanannya membuai Zulaikha terngiang-ngiang dan
menjadikan Yusuf sebagai sumber fitnah, dalam menjastifikasi fitnah kiranya
perlu mendefinisikan atau memantapkan kosentrasi dari fitnah itu sendiri apa,
fitnah dalam hal ini muaranya adalah mempesona atau mempesonakan, jadi kata
fitnah disisni bermuara bahwa akan menjadi fitnah baik laki-laki maupun
perempuan bilamana ia mempesona seperti halnya laki-laki yang bergelar ustad
yang membuat perempuan terngiang-ngiang juga bisa disebut sumber fitnah, maka
dari itu penanggulangaya bukan pada subjek atau stigmatisasi saja perempuan
sebagai sumber fitnah akan tetapi bagaimana mengolah sesuatu yang mempesona itu
agar tidak meledak atau meletup dengan tidak mengumbar aura agar tidak menjadi
fitnah baik laki-laki maupun perempuan.
Dikatakan
juga bahwasannya suara perempuan adalah aurat tetapi ini juga perlu ditinjau
kembali suara mana yang aurat bagaimana jikalau suara perempuan itu menyejukan
dan mengarahkan kepada kebaikan atau kemaslahatan apakah demikian itu bisa
dikatakan kembali sebagai aurat, suara itu dikatakan aurat adalah ketika suara
itu bermuara untuk mendorong atau mengajak untuk melakukan tindakan asusila,
dan suara ini tidak selalu disematkan pada perempuan bahkan laki-laki pun jika
suaranya mengajak atau mendorong pada kegiatan asusila maka suaranya itu juga
aurat, suara itu menjadi aurat bilmana suara itu mengajak atau mendorong kepada
tindakan asusila tampa memandang gender.
Dikatakan
kembali dalam sebuah hadis bahwasanya perempuan itu adalah tiang suatu negara,
jikalau perempuannya baik maka baik pula negara itu, apalagi perempuan dalam islam
sangat dimuliakan sebagaimana hadis yang familiar bahwa surga berada dibawah
telapak kaki ibu, perempuan sebagai ibu sangat dihormati dalam islam dan
dijunjung tinggi bahakan dikatan pula lagi menghormatilah ibu dulu sebanyak 3
kali baru menghormati ayah, betapa urgennya perempuan dalam islam, dan betapa
islam memuliakan seorang perempuan. perempuan dalam kancah sosial politik
seringkali terkucilkan dengan dalil yang irasional bahwa perempuan itu di vonis
tak layak menjadi pemimpin karena persoalan biologis atau kelamin ia perempuan
tetapi dalam banyak kasus perempuan itu juga sanggup mengatur suatu wilayah dan
layak juga menjadi pemimpin seringkali serangan personal kepada perempuan lebih
masif daripada serangan kapasitas atau kemampuan mengolah suatu wilayah,
perdebatan kepemimpinan itu seharusnya bukan perdebatan kelamin tetapi
perdebatan yang lebih subtansial yakni perdebatan kelayakan yang berhubungan
denga kapasitas selagi perempuan dianulir menjadi pemimpin karena kapasitas
yang kurang memadai itu sah,tetapi kalau perempuan dilarang memimpin karena ia
perempuan itu sesuatu yang mengkerdilkan pengetahuan atau deskriminasi keilmuan
serta penjajahan laki-laki atas perempuan.
Stigmatisasi
yang masif tentang perempuan itu sebagai sumber fitnah dan suara nya itu
adalah aurat memunculkan paradigma bawah
semakin ia tertutup semakin sholehah nya dia semakin ia sholehah semakin ia
tidak kemana-mana dan tidak keluar rumah mengurus kepentingan domestiknya saja
yakni mengurus dan terkurung dalam jeruji ibu rumah tangga,dan akhirnya memicu
anggapan lain bahwa perempuan yang bekerja dluar domestik atau bekerja diluar
rumah maka kesalihannya memudar atau berkurang. dan streotip semacam itu akan
memicukan kelanggengan asusmsi mengapa perempuan harus sekolah tinggi-tinggi
walau akhirnya dirumah kodrat perempuan itu ya dapur sama rumah.
Latar
belakang feminisme itu sendiri pun berangkat dari ketidakterimaan pada doktrin
gereja pada abad pertengahan antara abad 18-19 bahwa perempuan itu sebagai ibu
dari dosa dan perempuan adalah makhluk kelas dua bawhasannya dunia ini
kepemilikannya penuh ke laki-laki,ia laki-laki adalah subjek tunggal dunia.
Diterangkan juga oleh ustad Yanuar Ilyas “kesadaran akan ketidakadilan gender
yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat,serta
tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.”
Ketidakadilan yang dimaksud adalah ketidakadilan
stigmatisasi, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan dan beban ganda.
Dalam kasus ini perlu pemecahan masalah yang matang dan kerjasma antara beberapa elemen agar pengoptimalan perempuan kembali sejalan dan tidak lagi mengalami ketidakadilan seperti mengadakan penyuluhan dan sosialisasi bahwa peran perempan itu juga penting dan stimulus respon yang baik dari sosiologis masyarakat guna pentingya berfikir open minded atau berfikir terbuka. Jadi perluya penumpasan stigmatisasi perempan denga pemahaman dan sosialsasi peran perempuan dalam sosialogis itu sama atau setara dan juga untuk pengalaman ia sebagai biologis di fasilitasi, dan memahamkan bahwa sebenarnya feminisme itu bukan hanya menguntungkan ke pihak perempuan melainkan ke pihak laki-laki dengan acuan kesalingan, kesalingan melengkapi struktur ekosistem kehidupan yang mengalami keertimpangan atau rumpang, sehingga laki-laki bisa membagi tugasnya kepeda perempuan begitu juga sebaliknya, yang penting juga bahwa feminisme islam itu tidak melawan laki-laki tetapi menolak patriaki, kesewenag-wenangan kebijakan laki-laki yang medegradasikan perempuan.
1 Komentar
informasinya sangat membuka pandangan saya terhadap perempuan (y)
BalasHapus