Moderat, bisa diartikan sebagai berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Hal ini berkesusaian dengan inti ajaran Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Maka umat islam disebut sebagai ummatan washathan, umat pertengahan, yang proporsional, dan seimbang. Quraish Shihab, dalam Membumikan Al-Qur’an Jilid II mengungkapkan bahwa eksistensi umat Islam dalam posisi moderat akan membawa mereka tidak hanyut seperti yang dialami oleh para penganut materialisme dan tidak pula terlena di alam ruhani seperti penganut “spiritualisme” yang keberadaannya seringkali tidak lagi berpijak di bumi, melainkan memadukan keduanya dalam segala aspek kehidupan sebagaimana diilhami dari firman Allah, Carilah melalui apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, tapi jangan melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS. Al-Qashash [28]: 77).
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya : "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."
Selanjutnya, Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi islam arus utama di Indonesia, juga memposisikan diri sebagai organisasi moderat. Karakter moderat Muhammadiyah bisa dilihat dari berkembangnya Muhammadiyah di tengah masyarakat Jawa yang kental dengan tradisi heterodoks. Muhammadiyah mampu bernegosiasi dengan kultur masyarakat Jawa, bahkan di wilayah pedesaan, dengan baik. ”Islam Murni” ala Muhammadiyah di daerah pedesaan bisa bertahan setelah melakukan berbagai ”modifikasi” dan ”adaptasi” dengan realitas sosial politik setempat. Masyarakat petani menerima Islam murni setelah disesuaikan dengan pola hidup petani. Sebaliknya, pihak Islam murni melalui peran elite di tingkat lokal melakukan modifikasi (pelonggaran) untuk memperoleh massa yang lebih banyak.
Menurut Abdul Mu’ti (Sekretaris umum PP Muhammadiyah) Muhammadiyah itu “Puritan yang Pluralis”. Secara teologis, Muhammadiyah itu puritanis dan berkomitmen menegakkan akidah Islam yang murni, Tauhid yang jauh dari kemusyrikan. Sekalipun demikian, Muhammadiyah memiliki sikap pluralis yang jelas. Sikap pluralis di dalam Muhammadiyah memiliki tiga landasan. Pertama, dalam bidang keagamaan Muhammadiyah tidak terikat kepada salah satu mazhab. Kedua, Muhammadiyah meyakini paham relativisme pemikiran di mana kebenaran suatu pemikiran atau hasil ijtihad bersifat subjektif-relatif dan terbuka untuk dikaji ulang. Ketiga, dalam bidang muamalah-duniawiyah (sosial-kemasyarakatan) Muhammadiyah memiliki prinsip terbuka untuk belajar dari berbagai sumber.
Selain sebagai organisasi Islam yang moderat, Muhammadiyah berpandangan Islam adalah agama yang berkemajuan. Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai ajaran tentang kemajuan untuk mewujudkan peradaban umat manusia yang utama. Kemajuan dalam pandangan Islam melekat dengan misi kekhalifahan manusia yang sejalan dengan sunatullah kehidupan, karena itu setiap muslim baik individual maupun kolektif berkewajiban menjadikan Islam sebagai agama kemajuan (din al-hadlarah) dan umat Islam sebagi pembawa misi kemajuan yang membawa rahmat bagi kehidupan. Melihat hal tersebut, bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Karang anyar mengadakan diskusi bulanan yang bernama, Majelis Wal’Ashri. Mengambil nama Wal’Ashri kami berharap diskusi bulanan ini dapat menjadi corong menyuarakan semangat Islam berkemajuan.
Pada edisi pertama ini, yang diadakan hari ahad (6/9/2020) di Aula SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. Kami mengambil tema “Hijrah, dari Konservatif ke Moderat”. Pengambilan tema ini sebagai langkah kongkrit kami mengawal spirit moderasi Islam pada kader-kader Muhammadiyah. Diskusi bulanan yang diikuti oleh kader-kader IMM & IPM di Karanganyar ini menghadirkan Yusuf Yanuri (Redaktur kalimahsawa.id, ib times.id & tanwir.id) salah satu kader Muhammadiyah yang getol menyuarakan pesan-pesan Islam moderat dan progesif lewat aktivitasnya sebagai redaktur di beberapa portal web diatas.
Dijelaskan dalam pemaparanya, sangat penting untuk kita memposisikan diri sebagai umat islam yang moderat, terlebih bagi kita yang kader Muhammadiyah. Artinya ada keseimbangan dalam kita beragama. Salah satu sikap berimbang dalam beragama adalah tidak baper menghadapi perbedaan yang ada. Ketika Rasulullah masih hidup, semua permasalahan Islam selesai di hadapan Rasulullah sebagai pemegang otoritas hukum dan pemimpin Islam. Namun ketika Rasul wafat, umat Islam mulai berbeda pendapat, bisa karena sudut pandang, letak geografis dan kebudayaan, serta banyak factor. Maka perbedaan adalah keniscayaan, berpegang teguh pada apa yang kita yakini benar merupakan kewajiban, namun tak lantas menjadikan kita merasa benar sendiri dan serta merta menyalahkan pihak lain tanpa ada kajian dan dasar yang kuat. Jangan sampai kemudian sikap kita yang ditengah melahirkan golongan ekstrim tengah karena kita juga turut mengkritik daan hanya menyalahkan golongan yang tak sepaham dengan kita.
Poin berikutnya adalah menghayati betul konsep Islam sebagai rahmatan lil alamin. Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, bagi umat islam, umat non muslim, bahkan hewan, tumbuhan dan alam. Agak kurang rasanya bila kita hanya membahas habluminallah & habluminannas tapi melupakan habluminal alam. Bila sudah begini maka kita akan peduli tidak hanya pada masalah agama tapi juga masalah kemanusiaan, kemiskinan, minoritas yang tertindas, kesenjangan social, bahkan juga pada masalah-masalah ekologi yang mengancam kelestarian ekosistem. Kepedulian ini yang menjadikan kita sebagai umat islam yang moderat, dan memaksimalkan nilai kebermanfaat kita pada semua aspek kehidupan. Membela Islam adalah membela kemanusiaan, membela Islam adalah membela alam dan lingkungan.
Pemateri juga menyampaikan langkah-langkah praktis untuk kita menjadi pribadi yang moderat antara lain, mulai menerapkan prinsip-prinsip egaliter di kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri budaya patriarki begitu mengakar di masyarakat kita, hal ini seringkali membuat wanita terhalangi hak nya untuk berpendidikan, juga berperan di masyarakat. Maka dengan menerapkan prinsp-prinsip egaliter kita membuka jalan yang lebih lebar bagi wanita untuk berpendidikan dan berperan. Kemudian mulai beralih dari membela simbol ke substansi, terakhir menjadi generasi yang literat. Dengan menjadi generasi yang literat maka pola pikir kita menjadi lebih rasional, salah satu hal yang diupayakan K.H Ahmad Dahlan adalah rasionalisasi agama, bukan berarti merasionalkan aspek-aspek ritual dalam agama. Namun lebih kepada memaknai ajaran agama lebih rasional agar terhindar dari kesyrikan atau mengkultuskan sesuatu.
Selain pemaparan materi yang menarik, beberapa tanggapan dari peserta juga perlu diberi garis bawah. Missal tanggapan dari Immawan Arifin yang mengkritisi bahwa kita terlalu terbuka terhadap pemikiran-pemkiran barat sehingga banyak aktivis terlena pada mengkaji pemikiran barat, namun lupa akan mengkaji aspek-aspek spiritual dalam Muhammadiyah, atau kitab-kitab agama yang barangkali disentuh pun jarang oleh kader Muhammadiyah sekarang. Kritikan ini memberi kita pesan bahwa jangan sampai semangat moderasi islam malah membawa kita menjadi lupa akan ajaran agama kita, dan kehilangan sisi spiritual kita. Kemudian tanggapan dari immawan Abdurohman, yang menyampaikan pengkotak-kotakan Islam dengan embel-embel moderat, konservatif, liberal, radikal, salafi, wahabi dll malah menjadikan umat Islam terpecah belah. Maka pemateri menaggapi bahwa istilah-istilah ini harus kita fahami dari sudut pandang sosiologis yang memudahkan kita dalam melakukan kajian-kajian tentang umat Islam, bukan sebagai penggolongan yang bersifat memecah atau meng-unggulkan diri kita.
0 Komentar