Gerakan Moral Mahasiswa
Sepanjang sejarah gerakan moral,
mahasiswa membawa corak tersendiri dalam pusaran ketatanegaraan Indonesia.
Titik perjuangan estafet pergerakan mahasiswa bermula dari periode 1950-an
sampai pada puncaknya pelengseran Soeharto di tahun 1998. Namun setelah
lengsernya Soeharto, gelombang perlawanan mahasiswa mulai pasang surut meskipun
resistensi terhadap kebijakan pemerintah masih cukup signifikan. Meskipun
begitu, skala aksi massa jalanan tidak seintens sewaktu penggulingan Soeharto
yang melibatkan berbagai eksponen mahasiswa. Semenjak masa pemerintahan
Habibie, perlawanan mahasiswa hanya melibatkan sebagian kecil mahasiswa dengan
sekelumit kepentingan golongan demi memuaskan hasrat pribadi tanpa melakukan
pertimbangan yang matang dalam setiap kajian aksinya. Hal ini memunculkan
berbagai framing negatif bahwa gerakan mahasiswa
banyak disusupi kepentigan elitis sehingga banyak masyarakat yang enggan bergabung
dalam eskalasi massa jalanan. Singkat cerita, banyak gerakan yang diinisiasi
oleh mahasiswa berakhir tragis sebab gerakan ini hanya berkutat pada kecacatan
kajian akademis dan pola gerakan yang monoton.
Aktivis pergerakan mahasiswa perlu
memahami berbagai prinsip dalam gerakan moral, salah satu prinsip ini
termanifestasikan dalam setiap konsep dan pola gerakan yang dibangun dengan
menyadari sepenuhnya bahwa kedudukan seorang civitas akademika di hadapan
masyarakat berdasar kompetensi ilmu, moral, dan interaksi sosialnya. Selain
itu, konsep dan pola pergerakan perlu mempertimbangkan ideologi
dan pemikiran sebagai pedoman dalam setiap pengambilan keputusan aksi. Namun
dalam prakteknya masih banyak gerakan mahasiswa yang luput menerapkan prinsip
moralitas gerakan.
Konsep pemikiran baru mengenai
gerakan mahasiswa diutarakan oleh Andrianto tentang gerakan multidisipliner.
Apabila diejawantahkan dalam konteks kebangsaan yang sedang mengalami perbaikan
di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ketahanan maka mahasiswa harus
berani memulai berkomunikasi dengan cita-cita besar ini dan melaksanakan
praktek negosiasi dengan semua lini yang berkaitan dengan perbaikan realitas
kebangsaan, baik di level akar rumput maupun kalangan elitis. Strategi gerakan
ini selaras dengan kacamata idealisme mahasiswa yang memiliki dua peran besar
dalam tataran global, sebagai the agent of social control dan the agent of
social change. Secara sederhana konsep gerakan mahasiswa multidisipliner
merubah paradigma tentang posisi mahasiswa dalam gelanggang politik praktis.
Konsep multidisipliner membawa mahasiswa sebagai mitra kritis pemerintah yang
sebelumnya sering memberikan jalan buntu terhadap aspirasi kaum marjinal yang
disalurkan melalui lidah mahasiswa. Namun dalam konteks ini mahasiswa tidak
selamanya tunduk sebagai kacung pemerintahan sehingga suara mahasiswa tidak
mudah dibungkam dengan berbagai tawaran politis yang digulirkan oleh
pemerintah.
Menurut Hamka dalam Matulessy,
gerakan moral mahasiswa merupakan bentuk gerakan kolektif dengan mengedepankan
aksi sosial dengan ciri khas diwadahi oleh organisasi yang bersifat permanen
dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Meskipun setiap gerakan mahasiswa
memiliki tujuan yang berbeda, namun kepentingan mempengaruhi kebijakan pemerintah
tetap prioritas dalam konsolidasi gerakan. Selain itu, gerakan mahasiswa
dilakukan dengan penuh kesadaran berdasarkan idealisme, kepekaan, dan sikap
kritis terhadap pemerintah. Praktek di lapangan memang kerap gerakan mahasiswa
lahir dari ideologis yang berbeda namun
aksi kolektif dalam memainkan isu atau persoalan menjadi penting dalam
memobilisasi massa dan mengefektifkan aksi
meskipun tidak membentuk lembaga resmi layaknya partai politik sehingga gerakan
ini serentak menjadikan dirinya sebagai parlemen jalanan.
Gerakan moral mahasiswa kekinian
memang harus mengikuti trend atau model gerakan baru dalam konsep
multidisipliner. Pertama, model gerakan intelektualitas sebagai bahan
menganalisa isu atau persoalan berbekal kecerdasan dan ketajaman berpikir
berbasis kajian ilmiah. Kedua, model gerakan perkaderan sebagai basis melakukan
sebuah perubahan dengan berpikir dan bekerja secara kolektif kolegial, sebab
bukan dianggap gerakan apabila tidak mampu melakukan pengkaderan secacar
sistematis dan massif. Ketiga, model gerakan kewirausahaan sebagai benteng
moralitas idealisme mahasiswa dari penyakit kantong kering yang seringkali
menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar aktivis pergerakan. Mahasiswa
sebagai actor gerakan sosial dituntut memiliki keterampilan dan kemandirian
dalam membangun sebuah gerakan. Secara historis, ikut membentuk proses politik
kenegaraan meskipun realitanya semakin hari semakin menyusut sebab adanya
pergolakan besar dalam struktur politik yang berbeda di era transisi orde baru
menuju reformasi.
Pada dasarnya mahasiswa sebagai agen
perubahan sosial dianggap masyarakat sosok yang memiliki kemampuan intelektual
dan sosial yang tinggi dengan ketercerahan yang akan membawa sejarah lebih baik
di masa mendatang. Gerakan moral mahasiswa
tidak akan pernah luput dari struktur sosial dan kajian-kajian dialektis secara
politis, ekonomis, dan sosialis. Gerakan ini diharapkan mampu memberikan
perubahan signifikan sebagai respon sosial dengan memperhatikan kesejarahan dan
struktur yang ada. Respon sosial mahasiswa dikemas melalui penceburan diri
sepenuhnya dalam hiruk pikuk proses medernisasi, berpegang teguh pada idealisme
sebagai kekuatan sosial yang mewarnai gerak masyarakat, dan kritik terhadap
kondisi dengan memberikan alternatif transformatif
terhadap persoalan yang sedang menimpa kondisi struktural masyarakat.
IMM Sebagai Creative Minority
Creative minority merupakan sekelompok kecil manusia yang
mampu untuk mencari solusi atas berbagai kesulitan tantangan peradaban,
menggerakkan dan menentukan sejarah peradaban yang kemudian akan diikuti oleh
yang lain. Konsep creative minority pertama kali
diperkenalkan oleh Arnold Toynbee dalam bukunya “A Study of History“, merumuskan
sebuah teori kompleks mengenai kemunculan dan kejatuhan berbagai peradaban di
dunia, yang kemudian dianggap sebagai salah satu pencapaian terhebat dalam
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam teorinya tersebut, Toynbee
mengemukakan bahwa lahirnya suatu peradaban tidak terlepas dari adanya
tantangan-tantangan tertentu yang dihadapi suatu masyarakat atau sebagai cikal
bakal peradaban dan respon masyarakat tersebut terhadap tantangan-tantangan
itu. Apabila masyarakat berhasil mengatasi suatu tantangan tertentu, maka
keberhasilan itu akan membawa masyarakat untuk berhadapan dengan tantangan yang
lain. Tantangan yang berhasil diatasi melalui respon yang tepat, akan membuat
pola hidup masyarakat semakin mapan dan berkembang terus menjadi sebuah
peradaban.
Tradisi kolektif kolegial dalam tubuh
IMM sangat kental dengan gerakan moral mahasiswa yang mengedepankan aksi
sosial. Hal ini dibuktikan dengan ideologi IMM
yang menekankan aspek religiusitas, intelektualitas, dan humanitas dalam setiap
gerakannya. Narasi-narasi sosial ini dikemas dalam bentuk kerja kolektif
sehingga memunculkan efisiensi gerakan yang berkelanjutan. IMM sebagai salah
satu creative minority harus mampu mentrasformasikan gerakan moral mahasiswa di
tingkat akar rumput sampai tataran paling atas dari level kepemimpinan. Sebab
basis gerakan moral ini tidak akan hidup lama apabila gerakan mahasiswa seperti
IMM tertunduk lesu dalam ruang internal dan tidak mampu keluar sebagai agent of
social control dan agent of change, ditambah ketertundukan gerakan mahasiswa
terhadap kebijakan pemerintah seakan-akan membuat gerakan moral mati suri atau
bahkan tak pernah hidup kembali dalam ruang demokrasi.
Menyoal ekspresi gerakan IMM perlu
kiranya melihat ideologi gerakan dengan segala
amunisi yang dimiliki sebagai salah satu basis gerakan mahasiswa elitis. IMM
sebagai gerakan mahasiswa Islam sekaligus creative minority memberikan indikasi
bahwa gerakan moral kurang lebih sama dengan
ranah gerak dalam pengembangan keilmuan, pengarusutamaan religiusitas, dan
penyemaian humanitas. Konsep creative minority ala IMM diharapkan mampu
ditransformasikan sebagai tanggungjawab moral yag di emban IMM. Selaras dengan
pemikiran Muhammadiyah, gerakan moral IMM mengedepankan ilmu amaliah dan amal
ilmiah dalam bingkai pluralitas.
Toynbee ketika berbicara mengenai
creative minority bukan mengulas soal ruang hampa tetapi dalam sebuah konteks
masyarakat tertentu dan peradaban tidak terlepas dari intervensi agama. Maka
dalam konteks ini dapat ditarik benang merah bahwa IMM sebagai gerakan
mahasiswa Islam memiliki peluang besar dalam menciptakan peradaban baru dengan
gerakan intelektualitasnya tanpa meninggalkan paham keagamaan dan kepekaan
sosialnya. IMM bisa mengekspresikan gerakan moralnya melalui ranah geraknya di
bidang keagamaan, kemahasiswaan, dan kemasyarakatan sesuai basis gerakan
masing-masing daerah. Gerakan moral IMM tidak boleh berkutat pada pembentukan
teknokrat maupun spesialis untuk memenuhi trend dunia kerja kontemporer tetapi
harus mampu melahirkan ntelektual yang bermoral dan peka terhadap isu-isu
sosial. Namun, strategi pengembangan gerakan moral berbasi multidisipliner
perlu kiranya dikembangankan dalam setiap aspek pergerakan IMM sehingga corak
moral kader IMM mencerminkan sosok creative minority yang berkemajuan.
Pada dasarnya kader IMM memiliki corak atau aliran yang berbeda, ada aliran puritan yang skiptual, ada aliran liberal dengan mengindahkan ilmu dan metodologi Barat, dan aliran revolusioner dengan metode materialisme. Corak inilah yang memungkinan IMM menjadi basis creative minority dengan segala amunisi yang dimiliki guna mencapai keanggunan moral gerakan mahasiswa. Amunisi ini juga didukung adanya gerakan intelektualitas, gerakan pengkaderan, dan gerakan kewirausahan yang sedang dikembangkan IMM sebagai syarat gerakan moral mahasiswa sehingga tak perlu bertele-tele menjilat kaki penguasa demi kepentingan pragmatisme temporal. IMM harus senantiasa hadir dalam ruang masyarakat guna menghilangkan kejumudan dan memunculkan inovasi baru, dengan begitu kader ikatan diharapkan mampu menjadi agen perubahan ketika berada di tengah-tengah gejolak masyarakat.
Referensi
Hikam, AS. 1999. Politik
Kewarganegaraan (Landasan Redemokratisasi di Indonesia). Jakarta : Erlangga
Jamilah. Konsep
Gerakan Moral Mahasiswa Untuk Mewujudkan Good Governance di Indonesia.
Jurnal Ilmiah STKIP Garut
Kusumah, Indra.
2007. Risalah Gerakan Mahasiswa. Bandung : Indidec Press
Matulessy, A.
2005. Mahasiswa dan Gerakan Sosial. Jogjakarta : Srikandi
Rosita dan Nugroho, Anjar. 2019. Peranan Ikatan Mahasiswa Muhammadoyah dalam Membentuk Karaker Islami di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Prosiding Seminar Nasional Prodi PAI UMP
Oleh : R.A.S
0 Komentar